A. SEJARAH PERKEMBANGAN DIPLOMATIK
Pesatnya perkembangan teknologi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) dewasa ini, telah memacu semakin intensifnya interaksi antar Negara dan antar bangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah memengaruhi potensi kegiatan ekonoi, politik, sosial dan budaya kita dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah), organisasi nonpemerintah (ornop dalam negeri dan NGO’s luar negeri), swasta (perusahaan-perusahaan multinasional), dan perorangan sebagai aktor baru dalam hubungan luar negeri.
Kenyataan ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditujukan untuk melindungi kepentingan negara dan warganegaranya, serta pada gilirannya memperkokokoh negara kesatuan republik indonesia.
Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik, misi diplomatik secara tetap seperti yang ada dewasa in, di zaman india kuno telah dikenal ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antarraja maupun kerajaan, dimana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah mengenal pula apa yang dinamakan duta.
Pengiriman duta-duta ke luar negeri sudah dikenal dan dipraktikkan oleh indonesia, dan negara-negara asia serta arab sebelum negara-negara barat mengenalnya. Di benua eropa, baru pada abad ke-16 masalah pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, dimana pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada kongres wina 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh protocol aix-la-chapelle 1818.
kongres wina tersebut pada hakikatnya merupakan tonggak sejarah diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme hubungan diplomatik. Dengan demikian, sampai dengan 1815 ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan diplomatik sebagian besar bersumber dari hukum kebiasaan.
Pada ongres wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk mengodigikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai, dan mereka hanya meninggalkan satu naskah, yaitu hirearki diplomat (klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik) yang kemudian dilengkapi pula dengan protoco aix-la-chapelle tanggal 21 november 1818.
sebenarnya kongres wina ini dilihat dari segi substansi, praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya, yang jelas hanya sebagai upaya positif mengodifikasikan praktik-praktik negara-negara dalam bidang hubungan diplomatik itu menjadi hukum tertulis, sehingga lebih terjamin kepastiannya.
Pada tahun 1927, dalam kerangka liga bangsa-bangsa, diupayakan kembali kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak oleh dewan LBB. Alasannya yaitu, belum waktunya untuk memutuskan tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda konferensi den haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional.
Disamping itu, di havana pada 1928 konferensi ke-6 organisasi negara-negara amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama convention on diplomatic officers. Konvensi ini diratifikasi oleh dua belas negara amerika, kecuali amerika serikat yang hanya menandatangani, tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suara politik. Mengingat sifatnya yang regional, implementasi konvensi ini tidak menyeluruh.
Pada tahun 1947, komisi hokum internasional yang dibentuk oleh majelis umum PBB atas amanat pasal 13 piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut.
“1. majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan (recoomendations) dengan tujuan:
Memajukan kerjasama internasional di bidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengodifikasiannya;
Memajukan kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama.”
Komisi hukum internasional tersebut menetapkan empat belas topik pembahasan yang didalamnya jua termasuk topik hubunan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas.
Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi yugoslavia, majelis umum PBB pada 1953 menerima resolusi yang meminta komisi hukum internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.
Pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 majelis umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi internasional guna membahas maslah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Konferensi tersebut dinamakan “the united nations conference on diplomatic intercourse and immunities”, mengadakan sidangnya di wina pada 2 maret – 14 april 1961. kota wina dipilih dengan pertimbangan histories karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatic diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. konferensi menghasilkan instrumen-instrumen, yaitu: vienna convention on diplomatic relations, optional protocol concerning aqcuisition of nationality, dan optional protocol concerning the compulsory settlement of disputes. Di antara ketiga instrumen tersebut konvensi wina tentang hubungan diplomatik (convention on diplomatic relations), 18 april 1961 merupakan yang terpenting.
Konvensi wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tga tahun kemudian, pada 24 april 1964, konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku.
Kini, hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi konvensi tersebut, termasuk indonesia yang meratifikasinya dengan UU no. 1 tahun 1982. pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi wina tersebut digaris bawahi oleh mahkamah internasional dalam kasus united states diplomatic and copnsullar staff in teheran melalui ordinasinya tertanggal 15 mei 1979, dan pendapat hukumnya (advisory opinion) tertanggal 24 mei 1980.
konferensi wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi wina ini tetap berlaku seperti tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan:
“…that the rules of costumary international law should continue to govern question not expressly regulated by the provisions of the present convention.”
Sehubunagan dengan itu perlu diingat bahwa untuk pertama kalinya ada usaha guna mengadaka kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul, telah dilakukan dalam konferensi negara-negara amerika tahun 1928 di havana-cuba, dimana dalam tahun itu juga telah disetujui convention of consular agents (konvensi mengenai pejabat konsuler).
Sesudah itu dirasakan belum ada usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler, kecuali setelah majelis umum PBB meminta kepada komisi hokum international untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan konsuler.
Pembahasan mengenai hubungan konsuler itu dalam komisi hokum internasional telah dimulai sejak 1955, yaitu dengan menunjuk Mr. Zoureck sebagai repporter khusus. Rencana terakhir konvensi mengenai hubungan kekonsuleran telah diajukan kepaa majelis umum PBB pada 1961. dengan resolusi 1685 (XVI), majelis umum PBB telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi diplomatik, dan menyetujuinya pada awal 1963.
wakil dari 95 negara telah berkumpul di ibukota austria (kota wina) sejak tanggal 4 maret s/d 22 april 1963, konferensi telah menyetujui draft articles final konvensi mengenai hubungan konsuler, termasuk kedua protokol pilihan sebagaimana juga yang terjadi pada konvensi wina mengenai hubungan diplomatik. Berbagai persoalan yang menyangkut konsul termasuk peranannya telah dirumuskan dalam konvensi secara teliti dan rinci, bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan dengan konvensi wina 1961. akta finalnya telah ditandatangani pada 24 april 1963, dan dinyatakan berlaku pada tanggal 19 maret 1967.
ada 117 negara yang sudah meratifikasi dan aksesi. Empat puluh diantaranya telah menjadi protokol pilihan tentang kewajiban untuk menyelesaikan sengketa.
Konvensi wina 1963 mengenai hubungan konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan dalam lima bab yaitu:
- Bab pertama (pasal 2-pasal 27) antara lain mengenai cara-cara dalam mengadakan hubungan konsuler, termasuk tugas-tugas konsul;
- Bab kedua (pasal 28-pasal 57) mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan bukan saja kepada perwakilan konsulernya, tetapi juga kepada para pejabat konsuler karier serta para anggota perwakilan konsuler lainnya;
- Bab ketiga (pasal 58-pasal 67) khusus menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai lembaga konsul kehormatan, termasuk kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam bab ketiga ini juga memuat tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada konsul kehormatan dan kantornya;
- Bab keempat (pasal 68-73) berisikan ketentuan-ketentuan umum, antara lain mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler olah perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya, dan lain sebagainya;
- Bab kelima mengenai ketentuan-ketentuan final, seperti penandatanganan, ratifikasi, aksesi, mulai berlakunya, dan sebagainya.
Konvensi wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai misi-misi khusus (convention on special missions) yang diterima oleh majelis umum PBB pada 8 desember 1969. konvensi mengenai misi-misi khusus yang juga disebut konvensi new york 1969 ini, telah pula diratifikasi indonesia dengan UU no. 2 tahun 1982 pada 25 januari 1982.
Sebagaimana dikatakan di dalam mukadimahnya, bahwa konvensi new york 1969 mengenai misi khusus ini merupakan pelengkap konvensi wina 1961 dan 1963, dan dimaksudkan dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan hubungan baik semua negara, baik sistem perundang-undangannya maupun sistem sosialnya.
Konvensi new york 1969 beserta protokol pilihannya mengenai kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian yang sudah berlaku sejak 21 juni 1985, telah diratifikasi oleh lebih dari lima puluh negara sampai dengan 31 desember 2004, 23 diantaranya telah menjadi pihak optional protocol.
hukum diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus melalui sebuah konvensi, suatu kewajiban yang penting bagi Negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan kepada seseorang, kebebasan, dan kehormatan para diplomat, serta untuk melindungi gedung perwakilan diplomatic.
Dalam sidangnya yang ke-24 pada 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan terhadap misi diplomatic, termasuk juga para diplomatnya, dan perlunya untuk menghukum para pelanggar, majelis umum PBB telah meminta komisi hukum internasional mempersiapkan draft artikel mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang ynag dilindungi oleh hokum internasional.
Konvensi new york mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-orang yang menurut hukum internasional dilindungi, termasuk para diplomat 1973 ini akhirnya telah disetujui oleh majelis umum PBB di new york pada 14 desember 1973, dengan resolusi 3166 (XXVII). Konvensi ini kemudian diberlaukan pada 2 febuari 1977, dan sekarang telah tecatat sekitar 79 negara yang sudah menjadi anggotanya.
Konvensi mengenai keterwakilan negara dalan hubungannya dengan organisasi internasional yang bersifat universal.
Konvensi ini dikenal sebagai konvensi wina 1975 yang juga merupakan sumbangan yang penting bagi pengembangan kodifikasi hukum diplomatik. Urgensi perumusan konvensi sebenarnya disorong oleh adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional begitu cepat, baik jumlahnya maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional.
Perumusan konvensi tersebut tidak seperti dalam konvensi wina 1961 karena melibatkan tiga aspek subjek hukum, yaitu bukan hanya organisasi internasional dan negara-negara anggotanya, melainkan juga negara tuan rumah tempat markas besar organisasi itu berada. Situasi yang sangat komplek seperti ini benar-benar memerlukan hak dan kewajiban dari para pihak yang sangat adil dan memadai.
Sejak dimajukannya masalah ini kepada komisi hukum internasional untuk pertama kalinya pada 1958, barulah pembahasan secara substantif dapat dilakukan pada 1968, di mana reporter khusus yang ditugasi untuk menangani masalah ini dapat melaporkan tentang draft articles yang lengkap dengan komentar mengenai status hukum bagi wakil-wakil negara dalam organisasi internasional.
Komisi hukum internasional kemudian menyetujui draft articles sebanya 21 pasal dengan komentar mengenai ruang lingkup dan hal-hal lainnya yang menyangkut draft articles secara keseluruhan, termasuk perwakilan tetap pada organisasi internasional secara umum.
Selama 1969 dan 1970, setelah melanjutkan pembahasan mengenai topik tersebut, komisi hukum internasional telah menyetujui draft articles lagi tentang kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik bagi perwakilan diplomatik bagi perwakilan tetap, termasuk kedudukan, kekebalan, keistimewaan dan kemudahan bagi perwakilan peninjau tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi. Dala perkembangannya terdapat permasalahan baru dalam persidangan 1971 di mana telah dimajukan tiga masalah, yaitu:
- Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan, putusnya hubungan diplomatik, dan konsuler, atau adanya pertikaian bersenjata di antara anggota-anggota organisasi internasional sendiri;
- Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa; dan
- Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.
Akhirnya pada 1972 majelis umum PBB memutuskan untuk menyelenggarakan konferensi internasional sesegera mungkin. Kemudian pada 1973, majelis umum memberikan waktu agar konferensi semacam itu diberlakukan pada permulaan tahun 1975 di wina.
Konferensi PBB mengenai keterwakilan negara-negara dalam hubungannya dengan organisasi internasional yang bersifat universal telah diselenggarakan di wina, austria sejak 4 febuari-14 maret 1975 yang dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi antarpemerintah, dan 7 wakil dari organisasi pembebasan nasional yang dilakukan oleh organisasi persatuan afrika atau liga arab. Konferensi kemudian menyetujui konvensi tersebut yang terdiri dari 92 pasal dan terbuka untuk penandatanganan sejak 14 maret 1975 s.d. 30 april 1975 di kementrian luar negeri austria, kemudian diperpanjang s.d. 30 maret 1976 di PBB new york
spasibha balshoi .... atas pengetahuannya... membantu Syekaleeh :D
BalasHapus